Ketua Umum DPP LDII: Indonesia Merupakan Wilayah Strategis, Bela Negara Harus Digelorakan

Ketum LDII
Ketum DPP LDII, KH Chriswanto Santoso

Bantul (20/12) – Semangat bela negara harus terus dikobarkan, tidak hanya untuk mengenang Peristiwa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada 19 Desember 1948 di Sumatera Barat akibat agresi militer Belanda kedua, tetapi juga sebagai respons terhadap ancaman multidimensi yang dihadapi di abad ke-21.

Menurut Ketua Umum DPP LDII, KH Chriswanto Santoso, peribahasa Latin si vis pacem, para bellum, yang artinya “jika kamu menginginkan perdamaian, bersiaplah untuk perang.” Ungkapan tersebut memiliki pesan mendalam, terutama dalam menghadapi berbagai jenis perang modern, seperti ekonomi, pangan, hingga konflik fisik. “Semuanya membutuhkan ketahanan dan penjagaan kedaulatan untuk mempersiapkan diri menghadapi perang,” tegasnya.

KH Chriswanto juga mengingatkan bahwa Indonesia berada di jalur perdagangan dunia yang strategis, menghubungkan negara-negara Asia, Eropa, dan Australia. Dengan kekayaan alam melimpah dan lokasi yang strategis, Indonesia sejak lama menjadi incaran bangsa-bangsa imperialis. “Tanah kita yang kaya, lokasinya yang strategis di wilayah belahan bumi Selatan. Sejak ratusan tahun lalu selalu menjadi rebutan bangsa-bangsa imperalis,” imbuhnya.

KH Chriswanto menyoroti bagaimana tantangan global, seperti perang dagang antara Amerika Serikat dan China, berdampak signifikan bagi Indonesia. Selain itu, perubahan iklim yang mengakibatkan krisis pangan, menciptakan tantangan tersendiri di bidang ekonomi dan pangan. “Ini juga membutuhkan upaya, seperti kebijakan pemerintah Presiden Prabowo untuk mengembangkan Food Estate, pusat pangan terpadu yang mencakup pertanian, perkebunan, dan peternakan,” tutur KH Chriswanto.

Food Estate ditujukan untuk meningkatkan produksi pangan nasional, menjaga ketahanan pangan, dan mengurangi ketergantungan pada produk impor. “Dengan menjaga kedaulatan pangan, bisa menjamin kemakmuran sekaligus menjadikan Indonesia berwibawa di panggung internasional dalam menjaga perdamaian dan ketertiban dunia,” paparnya.

Melihat berbagai tantangan tersebut, tema Hari Bela Negara tahun ini, “Gelorakan Bela Negara untuk Indonesia Maju,” dinilai sangat relevan. KH Chriswanto menekankan bahwa bangsa Indonesia harus waspada terhadap perang nonkonvensional, yang dapat merusak negara tanpa letupan senjata.

Ia juga menyoroti generasi muda sebagai kelompok rentan. Jika tidak memiliki nilai-nilai nasionalisme, patriotisme, dan pemahaman mendalam terhadap Pancasila serta agama, mereka hanya akan menjadi korban perang ideologi. “Yang hari ini pengaruh-pengaruh yang bertentangan dengan Pancasila sangat mudah ditemui di media sosial,” tegasnya.

KH Chriswanto memperingatkan bahwa perusakan moral generasi muda melalui gaya hidup hedonisme dan konsumerisme dapat melemahkan mental mereka. Akibatnya, Indonesia akan dirugikan secara ekonomi karena arus barang impor yang tinggi. “Triliunan uang rakyat Indonesia terbang ke luar negeri akibat tingginya budaya konsumerisme,” tambahnya.

Sementara itu, Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro, Singgih Tri Sulistiyono, mengingatkan pentingnya mengenang Peristiwa Agresi Militer Belanda II sebagai bagian dari sejarah perjuangan bangsa. Ia menjelaskan bahwa peristiwa tersebut menjadi momentum bagi rakyat untuk bersatu mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang baru berusia tiga tahun.

“Belanda ingin menunjukkan bahwa Proklamasi Indonesia hanya ulah kaum ekstrimis, menurut perspektif mereka. Namun, bangsa Indonesia telah sepakat untuk mempertahankan kemerdekaannya. Agresi ini justru menjadi momentum bagi rakyat untuk bersatu padu membela negara,” jelas Singgih.

Singgih menekankan bahwa istilah bela negara dalam bahasa Jawa, yang dapat diartikan sebagai ‘melu hangrungkebi’. Istilah ini menggambarkan semangat untuk ikut membela dan mempertahankan apa yang telah menjadi hak dan milik bangsa. “Ketika Belanda berusaha kembali merebut Indonesia melalui pemerintahan NICA, itulah saatnya bangsa Indonesia bersatu untuk membela negara dan menjaga kemerdekaannya dengan segenap kekuatan,” jelasnya.

Lebih lanjut, Singgih menyatakan bahwa tantangan terbesar bagi bangsa Indonesia adalah kesadaran terhadap cinta tanah air dan nasionalisme. “Semangat bela negara akan memudar jika kita tidak menanamkan kesadaran ini kepada generasi muda. Cinta tanah air, nasionalisme, dan patriotisme adalah kunci untuk menjaga keutuhan NKRI. Tanpa kesadaran tersebut, kita akan kehilangan semangat untuk membela negara,” ujarnya

Ia menegaskan bahwa semangat bela negara harus tetap hidup, meskipun tantangan yang dihadapi kini lebih kompleks dan multidimensi. “Tantangan terbesar adalah kesadaran terhadap cinta tanah air dan nasionalisme. Jika ini luntur, maka semangat bela negara akan memudar,” tuturnya.

Untuk itu, ia menekankan penanaman nilai-nilai kebangsaan kepada generasi muda sangat penting, terutama di era digital saat ini, di mana tantangan terhadap ideologi dan budaya semakin besar. “Generasi tua harus menjadi teladan bagi generasi muda dalam mencintai bangsa dan negara. Melalui sosialisasi dan enkulturasi nilai-nilai kebangsaan, kita dapat memastikan bahwa semangat bela negara tetap hidup dan diteruskan oleh generasi mendatang,” pungkasnya.

 

Check Also

Cerminkan 29 Karakter Luhur, Pemuda LDII Kasihan Gelar Kerja Bakti

Bantul (31/12) – Pemuda PC LDII Kasihan melaksanakan kerja bakti dalam rangka mempersiapkan Pengajian Akhir …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *